Recent Posts

Empati Lisan vs Empati Hati

15 Juli 2025
Yaheline

Seringkali, kita mengucapkan kalimat seperti "Saya turut prihatin" atau "Saya bisa merasakan apa yang kamu rasakan" sebagai bentuk empati. Namun, empati lisan ini bisa jadi hanya respons otomatis tanpa kedalaman emosional. Empati yang tulus muncul dari hati, sebuah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain secara mendalam, bukan hanya merasa kasihan.

Pernahkah bertanya, bagaimana empati yang sebenarnya itu terbentuk? Empati jenis ini kerap diasah melalui pengalaman pribadi. Ketika seseorang pernah merasakan penderitaan atau kesulitan serupa, ia tidak hanya bersimpati, tetapi juga mampu merasakan emosi dan memahami perspektif orang lain dengan lebih peka. 


Itulah sebabnya mengapa orang yang pernah merasakan kesulitan hidup, seperti mereka yang tumbuh dalam keterbatasan, umumnya lebih peka terhadap penderitaan orang lain dibandingkan dengan mereka yang sejak awal sudah berkecukupan.

Bisa jadi inilah salah satu hikmah terbesar dari pernah mengalami penderitaan sendiri, yaitu mampu memiliki tingkat kepekaan yang jauh lebih tinggi. Pengalaman inilah yang memungkinkan kita untuk terhubung pada level yang lebih dalam.


Psikolog Carl Rogers, dalam buku On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy berpendapat bahwa empati sebenarnya adalah kemampuan untuk membentuk jembatan yang kokoh antara individu, mendorong rasa saling percaya dan pengertian.
Empati sejati merasakan dunia pribadi orang lain seolah-olah itu milik Anda sendiri, tanpa pernah kehilangan kualitas 'seolah-olah' ini.
Ketika empati muncul dari hati, maka interaksi sosial kita menjadi lebih berarti. Kita tidak lagi hanya menjadi pendengar pasif, melainkan menjadi individu yang mampu memberikan dukungan nyata dan relevan. Profesor Brene Brown, seorang peneliti di bidang keberanian, rasa malu, dan empati, menekankan bahwa empati adalah kemampuan untuk merasakan bersama orang lain.
Empati melibatkan tidak hanya mendengarkan apa yang mereka katakan, tetapi juga merasakan apa yang mereka rasakan.
Dengan kepekaan inilah, kita dapat merespons dengan cara yang lebih peduli dan bijaksana, menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan inklusif.


Hubungan sosial yang dibangun atas dasar empati mendalam akan lebih resilient dan mampu melewati berbagai tantangan. Ini karena adanya fondasi saling pengertian dan penghargaan yang tulus. Empati sejati, yang lahir dari pengalaman dan kepekaan hati, adalah kunci untuk menciptakan ikatan antarmanusia yang bukan hanya terjalin, tetapi juga berkembang dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar